MAKALAH AKIDAH AHLAK
MENEDELADANI KISAH
FATHIMAH AZ-ZAHRA DAN UWAIS AL-QARNI
Kata
Pengantar
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Dengan menyebut nama Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saya panjatkan puja dan syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada saya
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah akidah ahlak ini tentang meneladani
sifat Fatimah Az-Zahra dan Quwais Al-Qarni.
Saya berterimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan. Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam
makalah ini, baik dalam penyusunan kata maupun tata bahasanya. Oleh karena itu,
saya menerima saran dan kritik agar dapat menyusun makalah selanjutnya dengan
lebih baik.
Akhir kata, saya berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Wassalamualaikum
Wr.Wb
Jakarta, 19 November 2017
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fathimah
Az-Zahra` a.s. adalah putri keempat pasangan
Rasulullah SAW dan Khadijah Al-Kubra. Julukannya antara lain az-zahra`,
ash-shiddiiqah, ath-thaahirah, al-mubaarakah, az-zakiah, ar-radhiah,
al-mardhiah, al-muhaddatsah dan al-batuul. Mayoritas sejarawan Syi’ah dan
Ahlussunnah menetapkan bahwa ia lahir di Makkah pada tanggal 20 Jumadits Tsani
5 H. Akan tetapi, sebagian yang lain menyatakan bahwa hal itu jatuh pada tahun
3 H, dan kelompok ketiga menetapkannya pada tahun 2 H. Salah seorang sejarawan
dan ahli hadis dari kalangan Ahlussunnah menyatakan bahwa kelahirannya jatuh
pada tahun 1 H.
Uwais Al Qarni, adalah
manusia yang namanya begitu terkenal di kalangan penduduk langit. Bahkan Nabi
Muhammad SAW memerintahkan Ali bin Abu Thalib dan Umar bin Khattab agar meminta
didoakan oleh Uwais Al Qarni, karena doanya tidak pernah ditolak Allah SWT.
B.
Tujuan
a.
Untuk
mengetahui kisah Fathimah Az-Zahra
b.
Untuk
mengetahui kisah Uwais Al-Qarni
c.
Untuk
mengetahui ibrah kisah Fahimah Az-zahra
d.
Untuk
mengetahui ibrah kisah Uwais Al-Qarni
BAB II
PEMBAHASAN
Fathimah Az-Zahra
Fathimah binti Muhammad, atau lebih dikenal
dengan Fatimah az-Zahra (Fatimah
yang selalu berseri) (Bahasa Arab: فاطمة الزهراء) putri bungsu Nabi Muhammad dari perkawinannya dengan istri pertamanya, Khadijah.
Siti Fathimah Az Zahra r.a dilahirkan di Makkah, pada hari
Jumat, 20 Jumadil Akhir, lebih kurang lima tahun sebelum Rasulullah SAW
diangkat menjadi rasul. Siti Fatimah Az Zahra r.a tumbuh besar di bawah naungan
wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan jahiliyah, di
kala sedang hebatnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Kelahiran Fathimah disambut gembira oleh Rasulullahu alaihi
wassalam dengan memberikan nama Fathimah dan julukannya Az-Zahra. Pemimpin
wanita pada masanya ini adalah putri ke 4 dari anak anak Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwalid.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki kelahiran Fatimah yang
mendekati tahun ke 5 sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan
peristiwa besar yaitu ditunjuknya Rasulullah sebagai penengah ketika terjadi
perselisihan antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali
Hajar Aswad setelah Ka’bah diperbaharui.
”Fatimah adalah darah dagingku, apa
yang menyusahkannya juga menyusahkan aku dan apa yang mengganggunya juga
menggangguku.”[Ibnul Abdil Barr dalam "Al-Istii'aab"]
Di antara anak wanita Rasulullah s.a.w, Fathimah Az-Zahra
r.a, merupakan wanita paling utama kedudukannya. Kemuliannya itu diperoleh
sejak menjelang kelahirannya, yang didampingi wanita suci sebagaiman yang
diucapkan oleh Khadijah:
"Pada waktu kelahiran
Fartimah r.a, aku meminta bantuan wanita-wanita Quraish tetanggaku, untuk
menolong. Namun mereka menolak mentah-mentah sambil mengatakan bahwa aku telah
menghianati mereka dengan mendukung Muhammad. Sejenak aku bingung dan terkejut
luar biasa ketika melihat empat orang tinggi besar yang tak kukenal, dengan
lingkaran cahaya disekitar mereka mendekati aku. Ketika mereka mendapati aku
dalam kecemasan salah seorang dari mereka menyapaku: ‘Wahai Khadijah! Aku
adalah Sarah, ibunda Ishhaq dan tiga orang yang menyapaku adalah Maryam, Ibunda
Isa, Asiah, Putri Muzahim, dan Ummu Kultsum, Saudara perempuan Musa. Kami semua
diperintah oleh Allah untuk mengajarkan ilmu keperawatan kami jika anda bersedia".
Sambil mengatakan hal tersebut, mereka semua duduk di sekelilingku dan
memberikan pelayanan kebidanan sampai putriku Fathimah r.a lahir."
Meningkat usia 5 tahun, beliau telah ditinggal pergi ibunya.
Tidak secara langsung beliau mengantikan tempat ibunya dalm melayani, membantu
dan membela Rasulullah s.a.w, sehingga beliau mendapat gelar Ummu Abiha (ibu
dari ayahnya). Dan dalam usia yang masih kanak-kanak, beliau juga telah
dihadapkan kepada berbagai macam uji coba. Beliau melihat dan meyaksikan perlakuan
keji kaum kafir Quraish kepada ayahandanya, sehingga seringkali pipi beliau
basah oleh linangan air mata kerana melihat penderitaan yang dialalmi ayahnya.
Fatimah Az-Zahra tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak
hanya merupakan putri dari Rasulullah, namun juga mampu menjadi salah satu
orang kepercayaan ayahnya pada masa Beliau. Fatimah Az-Zahra memiliki
kepribadian yang sabar,dan penyayang karena dan tidak pernah melihat atau
dilihat lelaki yang bukan mahromnya. Rasullullah sering sekali menyebutkan nama
Fatimah, salah satunya adalah ketika Rasulullah pernah berkata
"Fatimah merupakan bidadari yang menyerupai
manusia" Sesungguhnya dia adalah
pemimpin wanita dunia dan penghuni syurga yang paling utama.
Fatimah mendapat julukan Az-Zahra karena dia tidak pernah
haid dan pada saat melahirkan nifasnya hanya sebentar. Dia juga dijuluki
sebagai pemimpin para wanita-wanita penduduk surga. Dalam kitab fataawa
adz-Dzahiriyyah di kalangan Hanafiyyah disebutkan bahwa
"Sesungguhnya Fatimah tidak pernah mengalami haid sama
sekali, saat beliau melahirkan pun langsung suci dari nifasnya setelah sesaat
agar tiada terlewatkan salat baginya, karenanya beliau diberi julukan
Az-Zahra".
Pernikahan Fatimah
Setelah Fatimah r.a mencapai usia dewasa dan tiba pula
saatnya untuk beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari
sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar
dan Umar. Rasulullah saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau
mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya
(Fatimah).”[Tadzkirah Al-Khawash, hal.306]
Kemudian, Jibril as datang untuk mengabarkan kepada
Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib.
Tak lama setelah itu, Ali datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu
menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah. Sang ayah pun menghampiri putri
tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan
keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan
engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah
datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan
ini?” Fatimah diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya
bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya adalah
tanda kerelaannya.” [Dzkha’irAl-Ukba, hal. 29]
Rasulullah saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat
tangan sang menantu seraya berkata, “Bangunlah!
‘Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu
‘alallah.” Kemudian, Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping
Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah,
sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah
keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku
menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk.”
Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat
berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai
Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.” Dan kepada Fatimah, beliau
menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik
suami adalah suamimu.”
Acara pernikahan itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat
itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang
istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia
bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam
memerlukan pedang itu, dan tidak setuju apabila Ali menjual perisainya.
Dengan mas kawin hanya 400 dirham, dia memulakan penghidupan
dengan wanita yang sangat dimuliakan Allah di dunia dan di akhirat. Dan ’Ali
pun menikahi Fathimah, dengan menggadaikan baju besinya kepada Ustman bin Affan
itulah, dan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Rasulullah
berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Kemudian
Rosulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku
untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka
saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus
fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Selanjutnya
Rasulullah mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan
kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi
kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”
(kitab
Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)
Bersuamikan Ali bin Abi Thalib bukanlah satu kebanggaan yang
menjanjikan kekayaan harta. Karena Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang daripada
empat sahabat yang sangat rapat dengan Rasulullah merupakan sahabat yang sangat
miskin berbanding dengan yang lain (Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab dan
Ustman bin Affan).
Namun jauh di sanubari Rasulullah tersimpan perasaan kasih
dan sayang yang sangat mendalam terhadap Ali bin Abi Thalib. Rasulullah pernah
bersabda kepada Ali bin Abi Thalib,
“Fatimah lebih kucintai
daripada engkau, namun dalam pandanganku engkau lebih mulia daripada dia.”
(HR
Abu Hurairah)
Dengan demikian wanita pilihan untuk lelaki pilihan. Fatimah
mewarisi akhlak ibunya Siti Khadijah. Tidak pernah membebani dan menyakiti
suami dengan kata-kata atau sikap. Senantiasa senyum menyambut kepulangan suami
hingga hilang separuh masalah suaminya.
Buah Hati
Keluarga Azzahra dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang
kepada suami dan anak-anaknya. Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah melahirkan
putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat
gembira sekali atas kelahiran cucunya ini. Beliau pun menyuarakan azan pada
telinga kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan
ayat-ayat Al-Qur’an.
Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT
berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Azzahra r.a. Rasul
mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya
beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa
mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya
dengan penuh kehangatan. Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah r.a.
Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu
dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan
menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah r.a melahirkan Zainab. Setelah
itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya
Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah itu dengan nama-nama
tersebut. Dan begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari
putrinya Fatimah Zahra.
Dalam suatu kisah menceritakan tentang keadaan rumah tangga
Ali bin Abi Thalib yang hidup miskin dan serba kekurangan setelah menikah
dengan Fatimah binti Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku bersabarlah. Sesungguhnya sebaik-baik wanita adalah yang
bermanfaat bagi keluarganya”. Itulah
jawaban Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Fatimah mengadukan
keadaan keluarganya.
Suatu ketika, Rosulullah keluar dari rumah Fatimah dengan
tanda-tanda kemarahan di wajahnya. Padahal beliau baru saja sampai di rumah
Fatimah. Sikap itu sebagai reaksi beliau atas penampilan anaknya yang mengenakan
giwang dan rantai terbuat dari perak, serta selot pintu rumah yang terbuat dari
bahan sejenis perak. Karena memahami sifat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Fatimah segera mencopot perhiasan dan selot pintu dan menyerahkannya
kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata, “Jadikanlah semua ini di jalan Allah, ya
ayahku”. Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat terharu, dan bersabda, “Sungguh
kamu telah melakukannya, wahai anakku. Ketahuilah, dunia ini bukan untuk Muhammad
dan keluarganya. Seandainya dunia ini bernilai di sisi Allah sebesar sayap
nyamuk, tak akan ada orang kafir diberi minum setetespun”.
Bukannya Ali bin Abi Thalib tidak mau menyediakan
seorang pembantu untuk isterinya tetapi memang keadaan kefakiranlah yang
sedemikian rupa. Ali bin Abi Thalib pun cukup memaklumi isterinya yang setiap
hari menguruskan anak-anak, memasak, membasuh dan menggiling tepung, dan yang
lebih memenatkan lagi bila terpaksa mengambil air melalui jalan yang
berbatu-batu jauhnya sehingga kelihatan tanda di bahu kiri dan kanannya. Suami
mana yang tidak sayang kepada isterinya. Pada suatu ketika bila Ali bin Abi
Thalib berada di rumah turut menyinsing lengan membantu istrinya menggiling
tepung di dapur. “Terima kasih suamiku,”
bisik Fatimah kepada suaminya. Usaha sekecil itu, di celah-celah kesibukan
sudah cukup berkesan dalam membelai perasaan seorang isteri.
Suatu hari, Rasulullah masuk ke rumah anaknya, didapati
puterinya (Fatimah) yang berpakaian kasar itu sedang mengisar biji-biji gandum
dalam linangan air mata. Fatimah segera mengesat air matanya tatkala menyedari
kehadiran ayahanda kesayangannya itu. Lalu ditanya oleh baginda, “Wahai
buah hatiku, apakah yang engkau tangiskan itu? Semoga Allah menggembirakanmu.”
Dalam nada sayu, Fatimah berkata, “Wahai
ayahanda, sesungguhnya anakmu ini terlalu penat kerana terpaksa mengisar gandum
dan menguruskan segala urusan rumah seorang diri. Wahai ayahanda, kiranya tidak
keberatan bolehkah ayahanda meminta suamiku menyediakan seorang pembantu
untukku?”
Rosulullah tersenyum seraya bangun mendapatkan kisaran tepung
itu. Dengan lafaz Bismillah, Rosulullah meletakkan segenggam gandum ke dalam
kisaran itu. Dengan izin Allah, maka berpusinglah kisaran itu dengan
sendirinya. Hati Fatimah sangat terhibur dan merasa sangat gembira dengan
hadiah istimewa dari ayahandanya itu. Habis semua gandumnya dikisar dan batu
kisar itu tidak akan berhenti selagi tidak ada arahan untuk berhenti, sehingga
Rasulullah menghentikannya.
Bersabdalah Rasulullah dengan kata-kata yang masyhur, “Wahai Fatimah, Gunung Uhud pernah
ditawarkan kepadaku untuk menjadi emas, namun ayahanda memilih untuk keluarga
kita kesenangan di akhirat.” Jelas, Rasulullah mau mendidik puterinya
bahawa kesusahan bukanlah penghalang untuk menjadi solehah. Ayahanda yang
penyayang terus merenung puterinya dengan pandangan kasih sayang, “Puteriku,
maukah engkau kuajarkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kau pinta
itu?” “Tentu sekali ya
Rasulullah,” jawab Siti Fatimah
kegirangan. Rasulullah bersabda, “Jibril
telah mengajarku beberapa kalimah. Setiap kali selesai sembahyang, hendaklah
membaca ‘Subhanallah’ sepuluh kali, Alhamdulillah’ sepuluh kali dan ‘Allahu
Akbar’ sepuluh kali. Kemudian ketika hendak tidur baca ‘Subhanallah’,
‘Alhamdulillah’ dan ‘Allahu Akbar’ ini sebanyak tiga puluh tiga kali.”
Ternyata amalan itu telah memberi kesan kepada Fatimah. Semua
pekerjaan rumah tangga dapat dilaksanakan dengan mudah dan sempurna meskipun
tanpa pembantu rumah. Itulah hadiah istimewa dari Allah buat hamba-hamba yang
hatinya sentiasa mengingatiNya.
Suatu hari masuklah Rasulullah menemui
anandanya Fatimmah az-Zahra radhiallahu ‘anha didapati anandanya sedang
menggiling syair (sejenis padi-padian) dengan menggunakan sebuah penggilingan
tangan dari batu sambil menangis. Rasulullah bertanya kepada anandanya, “Apa
yang menyebabkan engkau menangis wahai Fathimah? Semoga Allah tidak menyebabkan matamu menangis”. Fathimah berkata, “Ayahanda,
penggilingan dan urusan-urusan rumahtanggalah yang menyebabkan ananda
menangis”. Lalu duduklah
Rasulullah di sisi anandanya. Fathimah melanjutkan perkataannya, “Ayahanda
sudikah kiranya ayahanda meminta ‘ali (suaminya) mencarikan ananda seorang
jariah untuk menolong ananda menggiling gandum dan mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan di rumah”.
Mendengar perkataan anandanya ini maka bangunlah Rasulullah
mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil syair dengan tangannya yang
diberkati lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu seraya
diucapkannya “Bismillaahirrahmaanirrahiim”.
Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin
Allah. Rasulullah meletakkan syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk
anandanya dengan tangannya sedangkan penggilingan itu berputar dengan
sendirinya seraya bertasbih kepada Allah dalam berbagai bahasa sehingga
habislah butir-butir syair itu digilingnya.
Rasulullah berkata kepada gilingan tersebut, “Berhentilah
berputar dengan izin Allah”, maka penggilingan itu berhenti berputar. Lalu
penggilingan itu berkata-kata dengan izin Allah yang berkuasa menjadikan segala
sesuatu dapat bertutur kata.
Maka katanya dalam bahasa Arab yang fasih, “Ya Rasulullah,
demi Allah, Tuhan yang telah menjadikan baginda dengan kebenaran sebagai Nabi
dan Rasul-Nya. Kalaulah baginda menyuruh hamba menggiling syair dari Masyriq
dan Maghrib pun niscaya hamba gilingkan semuanya. Sesungguhnya hamba telah
mendengar dalam kitab Allah suatu ayat yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa
yang dititahkan”.
Maka hamba takut, ya Rasulullah kelak hamba menjadi batu yang
masuk ke dalam neraka. Rasulullah kemudian bersabda kepada batu penggilingan
itu, “Bergembiralah karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai
Fathimah az-Zahra di dalam syurga”. Maka
bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita itu kemudian diamlah ia.
Rasulullah bersabda kepada anandanya, “Jika Allah menghendaki wahai Fathimah, niscaya penggilingan itu
berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah menghendaki
dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu
dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat
Ya Fathimah, perempuan mana yang
menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah menuliskan
untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan
mengangkatnya satu derajat.
Ya Fathimah perempuan mana yang
berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah menjadikan
antara dirinya dan neraka tujuh buah parit.
Ya Fathimah, perempuan mana yang
meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakaian
mereka maka Allah akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi
makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang
yang bertelanjang.
Ya Fathimah, perempuan mana yang
menghalangi hajat tetangga-tetangganya maka Allah akan menghalanginya dari
meminum air telaga Kautshar pada hari kiamat.
Ya Fathimah, yang lebih utama dari
itu semua adalah keridhaan suami
terhadap istrinya. Jikalau suamimu tidak ridha denganmu tidaklah
akan aku do’akan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah bahwa ridha suami
itu daripada Allah dan kemarahannya itu dari kemarahan Allah?
Ya Fathimah, apabila seseorang
perempuan mengandung janin dalam rahimnya maka beristighfarlah para malaikat
untuknya dan Allah akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari seribu kebaikan
dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak
melahirkan maka Allah mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad
pada jalan Allah yakni berperang sabil.
Apabila ia melahirkan anak maka
keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ibunya
melahirkannya dan apabila ia meninggal tiadalah ia meninggalkan dunia ini dalam
keadaan berdosa sedikitpun, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman
dari taman-taman surga, dan Allah akan mengkaruniakannya pahala seribu haji dan
seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat.
Perempuan mana yang melayani
suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta niat yang benar
maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Allah akan memakaikannya
sepersalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari setiap helai bulu
dan rambut yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan dikaruniakan Allah
untuknya seribu pahala haji dan umrah.
Ya Fathimah, perempuan mana yang
tersenyum dihadapan suaminya maka Allah akan memandangnya dengan pandangan
rahmat.
Ya Fathimah perempuan mana yang
menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau menata rumah untuk
suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari langit
(malaikat), “Teruskanlah amalmu maka Allah telah
mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari dosamu dan sesuatu yang akan
datang”.
Ya Fathimah, perempuan mana yang
meminyakkan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan kumisnya serta
menggunting kukunya maka Allah akan memberinya minuman dari sungai-sungai sorga
dan Allah akan meringankan sakarotulmaut-nya, dan akan didapatinya kuburnya
menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga seta Allah akan
menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia melintas di atas titian
Shirat”. (Syarah ‘Uquudil
lijjaiin-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani).
Sekarang apa rahasia Ali bin Abi Thalib mencintai Fathimah?
Fathimah adalah teman karib semenjak kecil, puteri tersayang Rosulullah,
sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rosulullah yang mempesona, baik
kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya maupun
kecerdasannya.
Ali bin Abi Thalib sejak Fatimah masih kanak-kanak sudah
memperhatikan sifat dan tingkah lakunya, yaitu pada suatu hari ketika ayahnya
(Rosulullah) pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi
perut unta. Ia bersihkan dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia
bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya
dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah (sang
ayah yang Tepercaya) tidak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis
cilik (Fatimah) itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah, di sana, para
pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang
Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu
berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Ali
bin Abi Thalib tak tahu apakah rasa itu (selalu memperhatikan sifat dan tingkah
laku Fatimah) disebut cinta?
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar
yang mengejutkan bahwa Fathimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling akrab
dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam
dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya
tak diragukan yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah
mengujiku rupanya”, begitu
batin Ali bin Abi Thalib. Ia merasa diuji karena merasa, apalah ia dibanding
dengan Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru
karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, namun keimanan
dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi
dalam hijrah sementara Ali bin Abi Thalib bertugas menggantikan beliau untuk
menanti maut di ranjangnya. Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam
karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair,
Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib) semasa
kanak-kanak kurang pergaulan. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang
dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga
Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Siapa budak yang dibebaskan Ali bin Abi Thalib?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa
membahagiakan Fathimah. Ali bin Abi Thalib hanya pemuda miskin dari keluarga
miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali bin Abi
Thalib. ”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan
kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta
tak pernah meminta untuk menanti, tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya.
Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali
tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak, dan Ali bin
Abi Thalib terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri menyambut
Fathimah. Tapi, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar
mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan
perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani
tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut
dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut, yaitu Umar bin Khaththab. Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. Umar
bin Khaththab memang masuk Islam belakangan, sekitar tiga tahun setelah Ali bin
Abi Thalib dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang
menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan
semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar bin Khaththab dan Hamzah yang mampu
memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali bin Abi Thalib
mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama
Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar bin
Khaththab, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah, di sisi ayah
Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar bin
Khaththab melakukannya?. Ali bin Abi Thalib menyusul sang Nabi dengan
sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan
Rosulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, maka ia hanya berani berjalan di
kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit
pasir. Menanti dan bersembunyi.
Umar bin Khaththab telah berangkat sebelumnya. Ia
thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan
berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim,
atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
Umar bin Khaththab adalah lelaki pemberani, sedangkan aku (Ali bin Abi
Thalib), sekali lagi sadar.
Bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak,
dia pemuda yang belum siap menikah, apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah!
Tidak. Umar bin Khaththab jauh lebih layak, dan Ali bin Abi Thalib pun
ridha.
Sekali lagi cinta tak pernah meminta untuk menanti, tetapi mengambil
kesempatan atau mempersilakannya. Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau
pengorbanan. Maka Ali bin Abi Thalib pun bingung ketika mendengar kabar lamaran
Umar bin Khaththab juga ditolak.
Ingin menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Rosulullah?
Yang seperti ’Utsman bin Affan, sang miliyader yang telah menikahi Ruqayyah
binti Rasulullah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu,
suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya
hilang kepercayaan diri Ali bin Abi Thalib. Di antara Muhajirin hanya
’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk
mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus
yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang
lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?” kalimat teman-teman
Ansharnya itu membangunkan lamunannya. ”Mengapa
engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Rosulullah.. ” ”Aku?”
tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai
saudaraku!” ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa
kuandalkan?””Kami di
belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!” Ali bin Abi Thalib pun
menghadap Rosulullah, maka dengan memberanikan diri untuk menyampaikan
keinginannya menikahi Fathimah. Ya, menikahi, dengan sadar secara ekonomi
tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana
ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau
tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di
batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan.
Usianya telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya
mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap
memikul resiko atas pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya terjawab,”Ahlan wa sahlan!” Kata
itu meluncur tenang bersama senyum Rosulullah. Dan Ali bin Abi Thalib pun
bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan
sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk
menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan
kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah,
itu menyakitkan. ”Bagaimana jawab Nabi
kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..” ”Apa maksudmu?” ”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’
berarti sebuah jawaban?” ”Dasar
tolol! Tolol!” kata mereka. ”Eh,
maaf kawan, Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan
saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan!
Dua-duanya berarti ya!”
Dan ‘Ali bin Abi Thalib pun menikahi Fathimah. Dengan
menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke
kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar bin Khattab,
dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan
nanti-nanti. Ali bin Abi Thalib adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau
pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda
kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan
cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali bin Abi Thalib. Ia mempersilakan, atau
mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan, dan yang kedua adalah keberanian.
Ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi
(Fathimah) dalam suatu riwayat dikisahkan, bahwa suatu hari (setelah mereka
menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali “Maafkan aku, karena sebelum menikah
denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”. Ali
bin Abi Thalib terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau manikah
denganku? Dan Siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum Fathimah
berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu”.
Kematian Fathimah
Hari ketiga Ramadan adalah hari wafatnya anak
kesayangan baginda Nabi Muhammad SAW, Fatimah Az-Zahra. Fatimah yang juga istri
Ali bin Abu Thalib, ini wafat pada 3 Ramadan tahun 11 Hijriah atau 23 November
632 Masehi. Dia dimakamkan pemakaman Baqi, Madinah.
Ibrah dari kisah Fathimah Az-Zahra
antara lain:
Kesederhanaan
·
Kehidupan keluarganya bersama Ali
bin Abi Thalib penuh dengan kesederhanaan. Mahar Ali saat ingin melamar
Fathimah pun hanya baju besi yang pernah diberikan oleh Rasulullah.
Keteguhan Hati
·
Ali saat mengetahui Fathimah
banyak yang ingin menikahinya, tetapi semuanya ditolak, dan karena kesungguhan
hati Ali, lamaran Ali untuk menikahi Fathimah pun diterima oleh Rasulullah.
Tidak ada percintaan sebelum
pernikahan
·
Cinta dalam diam, Fathimah
Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib tidak pernah mengutarakan cinta antar satu
dengan yang lainnya. Memang tidak ada percintaan sebelum pernikahan.
Amalan
·
Fathimah melakukan pekerjaan rumah
tangganya sendiri, tidak ada pembantu yang membantunya karena tidak diizinkan
oleh Rasulullah. Namun Rasulullah mengajarkan amalan yang melebihi memiliki
seorang pembantu yaitu, apabila kita mendatangi tempat tidur
sebaiknya dalam keadaan mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan cara
membaca Subhanallah sebanyak 33 kali, Alhamdullillah 33 kali dan Allahu
Akbar 34 kali.
Tidak adanya poligami
·
Rasulullah tidak mengizinkan Ali
untuk menikah lagi, karena Fathimah merupakan bagian jiwa dari Rasulullah
Kemurkaan Fathimah Az-Zahra
merupakan kemurkaan Allah dan Rasulullah
·
Dalam hadis
riwayat Bukhari dalam Shahih Bukhari kitab nikah bab Dzabb ar-Rajuli,
Rasulullah bersabda, “Fatimah adalah sebahagian daripadaku; barangsiapa ragu
terhadapnya, berarti ragu terhadapku, dan membohonginya adalah membohongiku.”
·
Dalam hadis
riwayat Bukhari dalam Shahih Bukhari Kitab Bad’ul Khalq bab Manaqib Qarabah,
Rasulullah bersabda, “Fathimah adalah bahagian dariku, barangsiapa yang
membuatnya marah, membuatku marah!”
Pemimpin Wanita
·
Fathimah binti
Muhammad termasuk dalam 4 wanita penghuni surga yang paling utama bersama
Khadijah binti Khuwailid, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Mazahim (istri
Fir’aun)
Sifat-sifat
beliau
·
Keutamaan
akhlak yang mulia, ilmu pengetahuan yang tinggi, kefasihan yang mengungguli
kaum pria sekalipun, kesabaran, ketabahan, kesederhanaan, kezuhudan, dan
ketegaran hati.
·
Ketaatannya
terhadap Allah, Fatimah dengan kecintaannya terhadap Rasulullah, Fatimah dengan
kesetiaannya terhadap Ali.
Keunikan
·
Sebagai putri
dari Rasulullah, putri dari Khadijah al-Kubra (Pemuka wanita Islam pertama),
istri dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib (yang merupakan sahabat terdekat Nabi
saw. dan orang pertama kali masuk Islam). Fatimah adalah ibu dari Sayyidain
al-Hasan wal-Husain dan merupakan salah satu anggota khusus keluarga Nabi saw,
yang disebut sebagai Ahlul Bait Yang Suci.
Uwais Al-Qarni
Di Yaman, tinggallah
seorang pemuda bernama Uwais Al Qarni yang berpenyakit sopak. Karena penyakit
itu tubuhnya menjadi belang-belang. Walaupun cacat tapi ia adalah pemuda yang
saleh dan sangat berbakti kepada ibunya, seorang perempuan wanita tua yang
lumpuh. Uwais senantiasa merawat dan memenuhi semua permintaan ibunya. Hanya
satu permintaan yang sulit ia kabulkan. “Anakku,
mungkin Ibu tak lama lagi akan bersamamu. Ikhtiarkan agar ibu dapat mengerjakan
haji,” pinta sang ibu.
Mendengar ucapan sang ibu, Uwais termenung.
Perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh, melewati padang tandus yang panas.
Orang-orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak perbekalan. Lantas
bagaimana hal itu dilakukan Uwais yang sangat miskin dan tidak memiliki
kendaraan?
Uwais terus berpikir mencari jalan keluar.
Kemudian, dibelilah seekor anak lembu, kira-kira untuk apa anak lembu itu?
Tidak mungkin pergi haji naik lembu. Uwais membuatkan kandang di puncak bukit.
Setiap pagi ia bolak-balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. “Uwais
gila... Uwais gila..” kata orang-orang yang melihat tingkah laku Uwais. Ya,
banyak orang yang menganggap aneh apa yang dilakukannya tersebut.
Tak pernah ada hari yang terlewatkan ia
menggendong lembu naik-turun bukit. Makin hari anak lembu itu makin besar, dan
makin besar pula tenaga yang diperlukan Uwais. Tetapi karena latihan tiap hari,
anak lembu yang membesar itu tak terasa lagi. Setelah 8 bulan berlalu, sampailah pada musim haji. Lembu Uwais telah
mencapai 100 kilogram, begitu juga otot Uwais yang makin kuat. Ia menjadi
bertenaga untuk mengangkat barang. Tahukah sekarang orang-orang, apa maksud
Uwais menggendong lembu setiap hari? Ternyata ia sedang latihan untuk
menggendong ibunya.
Uwais menggendong Ibunya berjalan kaki dari
Yaman ke Makkah! Subhanallah, alangkah besar cinta Uwais pada ibunya itu. Ia
rela menempuh perjalanan jauh dan sulit, demi memenuhi keinginan ibunya.
Uwais berjalan tegap menggendong ibunya wukuf di
Ka’bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di
hadapan Ka’bah, ibu dan anak itu berdoa. “Ya
Allah, ampuni semua dosa ibu,” kata Uwais. “Bagaimana
dengan dosamu?” tanya sang Ibu keheranan. Uwais
menjawab, “Dengan terampuninya dosa ibu, maka ibu akan masuk surga. Cukuplah
ridha dari ibu yang akan membawaku ke surga.”
Itulah keinginan Uwais yang tulus dan penuh cinta.
Allah subhanahu wata’ala pun memberikan karunia untuknya. Uwais seketika itu
juga sembuh dari penyakit sopaknya. Hanya tertinggal bulatan putih
ditengkuknya. Tahukah kalian apa hikmah dari bulatan disisakan di tengkuknya
Uwais tersebut? Ituah tanda untuk Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib,
dua sahabat Rasulullah untuk mengenali Uwais. Beliau berdua sengaja mencari di sekitar Ka’bah karena Rasulullah
berpesan, “Di zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat
makbul. Kalian berdua, pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia
dibesarkan di Yaman.”
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu
durhaka pada ibu dan menolak kewajiban, dan meminta yang bukan haknya, dan
membunuh anak hidup-hidup, dan Allah, membenci padamu banyak bicara, dan banyak
bertanya, demikian pula memboroskan harta (menghamburkan kekayaan).” (HR
Bukhari dan Muslim)
Uwais Al Qarni pergi
ke Madinah
Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais
Al Qarni sampai juga di kota Madinah. Segera ia mencari rumah Nabi Muhammad.
Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan
salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al Qarni
menyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada di rumahnya,
beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al Qarni hanya dapat bertemu
dengan Siti Aisyah r.a., istri Nabi. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia
datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi, tetapi Nabi tidak dapat
dijumpainya.
Dalam hati Uwais Al Qarni bergejolak perasaan
ingin menunggu kedatangan Nabi dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang?
Sedangkan masih terniang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan
sakit-sakitan itu,agar ia cepat pulang ke Yaman, “Engkau harus lepas pulang.”
Akhirnya, karena ketaatanya kepada ibunya, pesan
ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan
Nabi. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al Qarni dengan terpaksa pamit kepada
Siti Aisyah r.a., untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan
salamnya untuk Nabi. Setelah itu, Uwais pun segera berangkat pulang mengayunkan
lengkahnya dengan perasaan amat sedih dan terharu.
Peperangan telah usai dan Nabi pulang menuju
Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi menanyakan kepada Siti Aisyah r.a., tentang
orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais anak yang taat kepada orang
ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi, Siti Aisyah r.a. dan
para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah r.a. memang benar ada
yang mencari Nabi dan segera pulang ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan
sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi
Muhammad melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al Qarni, penghuni langit itu,
kepada sahabatnya, “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia
mempunyai tanda putih di tengah telapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi memandang kepada Ali bin Abi
Thalib dan Umar bin Khaththab seraya berkata, “Suatu ketika apabila kalian
bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit,
bukan orang bumi.”
Waktu terus berganti, dan Nabi kemudian wafat.
Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khaththab. suatu
ketika Khalifah Umar teringat akan sabda Nabi tentang Uwais Al Qarni, penghuni
langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi itu kepada sahabat Ali
bin Abi Thalib. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman,
Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan tentang Uwais Al Qarni,
si fakir yang tak punya apa-apa itu yang kerjanya hanya menggembalakan domba
dan unta setiap hari? Mengapa Khalifah Umar dan sahabat Nabi, Ali bin Abi
Thalib selalu menanyakan dia?
Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih
berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al Qarni turut
bersama mereka. Rombongan kafilah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada
rombongan kafilah yang baru datang dari Yaman, segera Khalifah Umar dan Ali bin
Abi Thalib mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al Qarni turut bersama
mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais ada bersama mereka, dia
sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu,
Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib segera pergi menjumpai Uwais Al Qarni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada,
Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang
salat. Setelah mengakhiri salatnya dengan salam, Uwais menjawab salam Khalifah
Umar dan Ali bin Abi Thalib sambil mendekati kedua sahabat Nabi tersebut dan
mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah dengan
segera membalikan telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan Nabi.
Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al Qarni.
Wajah Uwais nampak bercahaya. Benarlah seperti
sabda Nabi. Bahwa ia adalah penghuni langit. Khalifah Umar dan Ali bin Abi
Thalib menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah”. Mendengar jawaban Uwais,
mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi
siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais Al
Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu
Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan
kafilah dagang saat itu. Akhirnya Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memohon
agar Uwais membacakan doa dan Istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia
berkata kepada Khalifah, “Saya lah yang harus meminta do’a pada kalian”.
Mendengar perkataan Uwais, “Khalifah berkata,
“Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari Anda”. Seperti dikatakan
Rasulullah sebelum wafatnya. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al Qarni
akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu
Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada
Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba
mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya,
biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Fenomena ketika Uwais Al Qarni Wafat
Selang beberapa waktu, tersiar kabar kalau Uwais telah
wafat akibat terserang penyakit, tahun 39 hijriyah, Uwais Al Qarni berpulang ke rahmatullah.
Anehnya, pada saat dia akan di mandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang
ingin berebutan ingin memandikannya. Dan ketika di bawa ke tempat pembaringan
untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang sudah menunggu untuk
mengafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, di sana
ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika
usungan dibawa ke pekuburannya, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk
menusungnya.
Meninggalnya Uwais Al Qarni telah menggemparkan
masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan.
Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah
dan pemakamannya, padahal Uwais Al Qarni adalah seorang yang fakir yang tidak
dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak
diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap
melaksanakannya terlebih dahulu.
Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling
bertanya-tanya, “Siapakah sebenarnya engkau Wahai Uwais Al Qarni? Bukankah
Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang
kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai pengembala domba dan unta? Tapi, ketika
hari wafatnya, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya
manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal.mereka datang dalam jumlah
sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke
bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya.”
Berita meninggalnya Uwais Al Qarni dan
keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar kemana-mana. Baru
saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al Qarni.
Selama ini tidak ada orang yang mengetahui
siapa sebenarnya Uwais Al Qarni disebabkan permintaan Uwais Al Qarni sendiri
kepada Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib agar merahasiakan tentang dia.
Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah di sabdakan
oleh Nabi, bahwa Uwais Al Qarni adalah penghuni langit.
Begitulah Uwais Al Qarni, sosok yang sangat
berbakti kepada orang tua, dan itu sesuai dengan sabda Rasulullah ketika beliau
ditanya tentang peranan kedua orang tua. Beliau menjawab, “Mereka adalah (yang
menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR Ibnu Majah).
Ibrah
dari kisah Uwais Al-Qarni
1.
Menunjukkan
keutamaan birrul walidain, yaitu berbakti
pada orang tua terutama ibu. Berbakti pada orang tua termasuk bentuk qurobat
(ibadah) yang utama.
2.
Menunjukkan
mu’jizat yang benar-benar nampak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia adalah Uwais bin
‘Amir. Dia berasal dari Qabilah Murad, lalu dari Qarn. Qarn sendiri adalah
bagian dari Murad.
3.
Uwais
adalah orang yang menyembunyikan keadaan dirinya. Rahasia yang ia miliki cukup
dirinya dan Allah yang mengetahuinya. Tidak ada sesuatu yang nampak pada
orang-orang tentang dia. Itulah yang biasa ditunjukkan orang-orang bijak dan
wali Allah yang mulia.
4.
Perintah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Umar untuk
meminta do’a dari Uwais, supaya ia berdo’a pada Allah untuk memberikan ampunan
padanya.
5.
Dianjurkan
untuk meminta do’a dan do’a ampunan lewat perantaraan orang shalih.
6.
Boleh
orang yang lebih mulia kedudukannya meminta doa pada orang yang kedudukannya
lebih rendah darinya. Di sini, Umar adalah seorang sahabat tentu lebih mulia,
diperintahkan untuk meminta do’a pada Uwais –seorang tabi’in- yang kedudukannya
lebih rendah.
7.
Uwais
adalah tabi’in yang paling utama berdasarkan nash
8.
Menjadi
orang yang tidak terkenal atau tidak ternama itu lebih utama.
9.
Keadaan
Uwais yang lebih senang tidak tenar menunjukkan akan keutamaan hidup terasing
dari orang-orang.
10.
Penilaian
manusia biasa dari kehidupan dunia yang nampak. Sehingga mudah merendahkan
orang lain. Sedangkan penilaian Allah adalah dari keadaan iman dan takwa dalam
hati.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
kisah Fathimah Az-Zahra
Fathimah AzZahra merupakan
putri Rasulullah yang dilahirkan
di Makkah, pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, mempunyai kepribadian
yang baik antara lain, ilmu pengetahuan yang tinggi, kefasihan
yang mengungguli kaum pria sekalipun, kesabaran, ketabahan, kesederhanaan,
kezuhudan, dan ketegaran hati. Ketaatannya terhadap
Allah, Fatimah dengan kecintaannya terhadap Rasulullah, Fatimah dengan
kesetiaannya terhadap Ali. Saling mencintai dengan Ali dalam diam, tidak ada
percintaan sebelum pernikahan. Memiliki anak kembar yaitu Hasan dan Husein merupakan
salah satu anggota khusus keluarga Nabi saw, yang disebut sebagai Ahlul Bait
Yang Suci. Dan ketika Fathimah meminta pembantu kepada Rasulullah, tetapi
Rasulullah tidak mengabulkannya, Rasulullah bahkan memberi amalan yang lebih
mulia daripada seorang pembantu, yaitu Namun
Rasulullah mengajarkan amalan yang melebihi memiliki seorang pembantu yaitu, apabila kita mendatangi tempat tidur sebaiknya dalam keadaan mengingat
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan cara membaca Subhanallah sebanyak 33
kali, Alhamdullillah 33 kali dan Allahu Akbar 34 kali. Dan kematian Fathimah
Az-Zahra pada tanggal 3 Ramadhan 11 H.
Dari Kisah Uwais Al-Qarni
Uwais
Al-Qarni merupakan pemuda yatim dari Yaman yang sangat berbakti kepada ibu nya.
Suatu ketika sang ibu ingin pergi haji, Uwais Al-Qarni berlatih menggendong
lembu dari bawah bukit menuju atas bukit dan kembali lagi itu ia pergunakan
agar bisa menggendong ibunya yang ingin haji dari Yaman ke Mekkah. Ketika Uwais
ingin bertemu Rasulullah tetapi gagal, Rasulullah sedang dalam medan
pertempuran. Akhirnya Uwais dipertemukan dengan Umar bin Khattab dan Ali bin
Abi Thalib, dan meminta agar Uwais berdoa untuk mereka. Uwais adalah penghuni
langit. Uwais meninggal pada tahun 39 H.