Rabu, 20 Desember 2017

MENELADANI SIFAT FATIMAH AZ-ZAHRA DAN UWAIS AL-QARNI

MAKALAH AKIDAH AHLAK

MENEDELADANI KISAH

FATHIMAH AZ-ZAHRA DAN UWAIS AL-QARNI

Hasil gambar untuk fatimah az zahra


Hasil gambar untuk uwais al qarni



Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saya panjatkan puja dan syukur atas kehadirat-Nya, yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah akidah ahlak ini tentang meneladani sifat Fatimah Az-Zahra dan Quwais Al-Qarni.

Saya berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, baik dalam penyusunan kata maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, saya menerima saran dan kritik agar dapat menyusun makalah selanjutnya dengan lebih baik.

Akhir kata, saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Wassalamualaikum Wr.Wb


Jakarta, 19 November 2017



Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Fathimah Az-Zahra` a.s. adalah putri keempat pasangan Rasulullah SAW dan Khadijah Al-Kubra. Julukannya antara lain az-zahra`, ash-shiddiiqah, ath-thaahirah, al-mubaarakah, az-zakiah, ar-radhiah, al-mardhiah, al-muhaddatsah dan al-batuul. Mayoritas sejarawan Syi’ah dan Ahlussunnah menetapkan bahwa ia lahir di Makkah pada tanggal 20 Jumadits Tsani 5 H. Akan tetapi, sebagian yang lain menyatakan bahwa hal itu jatuh pada tahun 3 H, dan kelompok ketiga menetapkannya pada tahun 2 H. Salah seorang sejarawan dan ahli hadis dari kalangan Ahlussunnah menyatakan bahwa kelahirannya jatuh pada tahun 1 H.

Uwais Al Qarni, adalah manusia yang namanya begitu terkenal di kalangan penduduk langit. Bahkan Nabi Muhammad SAW memerintahkan Ali bin Abu Thalib dan Umar bin Khattab agar meminta didoakan oleh Uwais Al Qarni, karena doanya tidak pernah ditolak Allah SWT.

B.   Tujuan
a.   Untuk mengetahui kisah Fathimah Az-Zahra
b.   Untuk mengetahui kisah Uwais Al-Qarni
c.   Untuk mengetahui ibrah kisah Fahimah Az-zahra
d.   Untuk mengetahui ibrah kisah Uwais Al-Qarni






BAB II
PEMBAHASAN

Fathimah Az-Zahra

Fathimah binti Muhammad, atau lebih dikenal dengan Fatimah az-Zahra (Fatimah yang selalu berseri) (Bahasa Arabفاطمة الزهراء) putri bungsu Nabi Muhammad dari perkawinannya dengan istri pertamanya, Khadijah.
Siti Fathimah Az Zahra r.a dilahirkan di Makkah, pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, lebih kurang lima tahun sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi rasul. Siti Fatimah Az Zahra r.a tumbuh besar di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan jahiliyah, di kala sedang hebatnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Kelahiran Fathimah disambut gembira oleh Rasulullahu alaihi wassalam dengan memberikan nama Fathimah dan julukannya Az-Zahra. Pemimpin wanita pada masanya ini adalah putri ke 4 dari anak anak Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, dan ibunya adalah Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwalid. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala menghendaki kelahiran Fatimah yang mendekati tahun ke 5 sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar yaitu ditunjuknya Rasulullah sebagai penengah ketika terjadi perselisihan antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad setelah Ka’bah diperbaharui.
Fatimah lebih muda dari Zainab, isteri Abil Ash bin Rabi‘ dan Ruqayyah, isteri Utsman bin Affan. Juga dia lebih muda dari Ummu Kultsum. Dia adalah anak yang paling dicintai Nabi SAW sehingga beliau bersabda :
”Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkan aku dan apa yang mengganggunya juga menggangguku.”[Ibnul Abdil Barr dalam "Al-Istii'aab"]

Di antara anak wanita Rasulullah s.a.w, Fathimah Az-Zahra r.a, merupakan wanita paling utama kedudukannya. Kemuliannya itu diperoleh sejak menjelang kelahirannya, yang didampingi wanita suci sebagaiman yang diucapkan oleh Khadijah:
"Pada waktu kelahiran Fartimah r.a, aku meminta bantuan wanita-wanita Quraish tetanggaku, untuk menolong. Namun mereka menolak mentah-mentah sambil mengatakan bahwa aku telah menghianati mereka dengan mendukung Muhammad. Sejenak aku bingung dan terkejut luar biasa ketika melihat empat orang tinggi besar yang tak kukenal, dengan lingkaran cahaya disekitar mereka mendekati aku. Ketika mereka mendapati aku dalam kecemasan salah seorang dari mereka menyapaku: ‘Wahai Khadijah! Aku adalah Sarah, ibunda Ishhaq dan tiga orang yang menyapaku adalah Maryam, Ibunda Isa, Asiah, Putri Muzahim, dan Ummu Kultsum, Saudara perempuan Musa. Kami semua diperintah oleh Allah untuk mengajarkan ilmu keperawatan kami jika anda bersedia". Sambil mengatakan hal tersebut, mereka semua duduk di sekelilingku dan memberikan pelayanan kebidanan sampai putriku Fathimah r.a lahir."
Meningkat usia 5 tahun, beliau telah ditinggal pergi ibunya. Tidak secara langsung beliau mengantikan tempat ibunya dalm melayani, membantu dan membela Rasulullah s.a.w, sehingga beliau mendapat gelar Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Dan dalam usia yang masih kanak-kanak, beliau juga telah dihadapkan kepada berbagai macam uji coba. Beliau melihat dan meyaksikan perlakuan keji kaum kafir Quraish kepada ayahandanya, sehingga seringkali pipi beliau basah oleh linangan air mata kerana melihat penderitaan yang dialalmi ayahnya.
Fatimah Az-Zahra tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak hanya merupakan putri dari Rasulullah, namun juga mampu menjadi salah satu orang kepercayaan ayahnya pada masa Beliau. Fatimah Az-Zahra memiliki kepribadian yang sabar,dan penyayang karena dan tidak pernah melihat atau dilihat lelaki yang bukan mahromnya. Rasullullah sering sekali menyebutkan nama Fatimah, salah satunya adalah ketika Rasulullah pernah berkata 
"Fatimah merupakan bidadari yang menyerupai manusia" Sesungguhnya dia adalah pemimpin wanita dunia dan penghuni syurga yang paling utama.
Fatimah mendapat julukan Az-Zahra karena dia tidak pernah haid dan pada saat melahirkan nifasnya hanya sebentar. Dia juga dijuluki sebagai pemimpin para wanita-wanita penduduk surga. Dalam kitab fataawa adz-Dzahiriyyah di kalangan Hanafiyyah disebutkan bahwa
"Sesungguhnya Fatimah tidak pernah mengalami haid sama sekali, saat beliau melahirkan pun langsung suci dari nifasnya setelah sesaat agar tiada terlewatkan salat baginya, karenanya beliau diberi julukan Az-Zahra".

Pernikahan Fatimah
Setelah Fatimah r.a mencapai usia dewasa dan tiba pula saatnya untuk beranjak pindah ke rumah suaminya (menikah), banyak dari sahabat-sahabat yang berupaya meminangnya. Di antara mereka adalah Abu Bakar dan Umar. Rasulullah saw menolak semua pinangan mereka. Kepada mereka beliau mengatakan, “Saya menunggu keputusan wahyu dalam urusannya (Fatimah).”[Tadzkirah Al-Khawash, hal.306]
Kemudian, Jibril as datang untuk mengabarkan kepada Rasulullah saw, bahwa Allah telah menikahkan Fatimah dengan Ali bin Ali Thalib. Tak lama setelah itu, Ali datang menghadap Rasulullah dengan perasaan malu menyelimuti wajahnya untuk meminang Fatimah. Sang ayah pun menghampiri putri tercintanya untuk meminta pendapatnya seraya menyatakan, “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keutamaan, dan keimanannya. Sesungguhnya aku telah memohonkan pada Tuhanku agar menjodohkan engkau dengan sebaik-baik mahkluk-Nya dan seorang pecinta sejati-Nya. Ia telah datang menyampaikan pinangannya atasmu, bagaimana pendapatmu atas pinangan ini?” Fatimah diam, lalu Rasulullah pun mengangkat suaranya seraya bertakbir, “Allahu Akbar! Diamnya adalah tanda kerelaannya.” [Dzkha’irAl-Ukba, hal. 29]
Rasulullah saw kembali menemui Ali as sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata, “Bangunlah! ‘Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah, tawakkaltu ‘alallah.” Kemudian, Nabi saw menuntun Ali dan mendudukkannya di samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua dan keturunannya dari setan yang terkutuk.”
Rasulullah mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.” Dan kepada Fatimah, beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu.”
Acara pernikahan itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya. Tetapi Rasulullah saw mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan tidak setuju apabila Ali menjual perisainya.
Dengan mas kawin hanya 400 dirham, dia memulakan penghidupan dengan wanita yang sangat dimuliakan Allah di dunia dan di akhirat. Dan ’Ali pun menikahi Fathimah, dengan menggadaikan baju besinya kepada Ustman bin Affan itulah, dan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Rasulullah berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Kemudian Rosulullah bersabda: 
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Selanjutnya  Rasulullah  mendoakan keduanya: 
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”
(kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)

Bersuamikan Ali bin Abi Thalib bukanlah satu kebanggaan yang menjanjikan kekayaan harta. Karena Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang daripada empat sahabat yang sangat rapat dengan Rasulullah merupakan sahabat yang sangat miskin berbanding dengan yang lain (Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab dan Ustman bin Affan). 
Namun jauh di sanubari Rasulullah tersimpan perasaan kasih dan sayang yang sangat mendalam terhadap Ali bin Abi Thalib. Rasulullah pernah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib,
“Fatimah lebih kucintai daripada engkau, namun dalam pandanganku engkau lebih mulia daripada dia.”
(HR Abu Hurairah)
Dengan demikian wanita pilihan untuk lelaki pilihan. Fatimah mewarisi akhlak ibunya Siti Khadijah. Tidak pernah membebani dan menyakiti suami dengan kata-kata atau sikap. Senantiasa senyum menyambut kepulangan suami hingga hilang separuh masalah suaminya.




Buah Hati

Keluarga Azzahra dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang kepada suami dan anak-anaknya. Pada tahun ke-2 Hijriah, Fatimah melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah saw diberi nama “Hasan”. Rasul saw sangat gembira sekali atas kelahiran cucunya ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Setahun kemudian lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah saw dari Fatimah Azzahra r.a. Rasul mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai buah hatinya di dunia.
Bila Rasulullah saw keluar rumah, beliau selalu membawa mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya dengan penuh kehangatan. Suatu hari Rasul saw lewat di depan rumah Fatimah r.a. Tiba-tiba beliau mendengar tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan, “Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu tahun berselang, Fatimah r.a melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun lahir. Sepertinya Rasul saw teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah itu dengan nama-nama tersebut. Dan begitulah Allah SWT menghendaki keturunan Rasul saw berasal dari putrinya Fatimah Zahra.
Dalam suatu kisah menceritakan tentang keadaan rumah tangga Ali bin Abi Thalib yang hidup miskin dan serba kekurangan setelah menikah dengan Fatimah binti Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku bersabarlah. Sesungguhnya sebaik-baik wanita adalah yang bermanfaat bagi keluarganya”. Itulah jawaban Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Fatimah mengadukan keadaan keluarganya.
Suatu ketika, Rosulullah keluar dari rumah Fatimah dengan tanda-tanda kemarahan di wajahnya. Padahal beliau baru saja sampai di rumah Fatimah. Sikap itu sebagai reaksi beliau atas penampilan anaknya yang mengenakan giwang dan rantai terbuat dari perak, serta selot pintu rumah yang terbuat dari bahan sejenis perak. Karena memahami sifat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fatimah segera mencopot perhiasan dan selot pintu dan menyerahkannya kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya berkata, “Jadikanlah semua ini di jalan Allah, ya ayahku. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat terharu, dan bersabda, “Sungguh kamu telah melakukannya, wahai anakku. Ketahuilah, dunia ini bukan untuk Muhammad dan keluarganya. Seandainya dunia ini bernilai di sisi Allah sebesar sayap nyamuk, tak akan ada orang kafir diberi minum setetespun”.
Bukannya  Ali bin Abi Thalib tidak mau menyediakan seorang pembantu untuk isterinya tetapi memang keadaan kefakiranlah yang sedemikian rupa. Ali bin Abi Thalib pun cukup memaklumi isterinya yang setiap hari menguruskan anak-anak, memasak, membasuh dan menggiling tepung, dan yang lebih memenatkan lagi bila terpaksa mengambil air melalui jalan yang berbatu-batu jauhnya sehingga kelihatan tanda di bahu kiri dan kanannya. Suami mana yang tidak sayang kepada isterinya. Pada suatu ketika bila Ali bin Abi Thalib berada di rumah turut menyinsing lengan membantu istrinya menggiling tepung di dapur. “Terima kasih suamiku,” bisik Fatimah kepada suaminya. Usaha sekecil itu, di celah-celah kesibukan sudah cukup berkesan dalam membelai perasaan seorang isteri.
Suatu hari, Rasulullah masuk ke rumah anaknya, didapati puterinya (Fatimah) yang berpakaian kasar itu sedang mengisar biji-biji gandum dalam linangan air mata. Fatimah segera mengesat air matanya tatkala menyedari kehadiran ayahanda kesayangannya itu. Lalu ditanya oleh baginda, “Wahai buah hatiku, apakah yang engkau tangiskan itu? Semoga Allah menggembirakanmu.” Dalam nada sayu, Fatimah berkata, “Wahai ayahanda, sesungguhnya anakmu ini terlalu penat kerana terpaksa mengisar gandum dan menguruskan segala urusan rumah seorang diri. Wahai ayahanda, kiranya tidak keberatan bolehkah ayahanda meminta suamiku menyediakan seorang pembantu untukku?”
Rosulullah tersenyum seraya bangun mendapatkan kisaran tepung itu. Dengan lafaz Bismillah, Rosulullah meletakkan segenggam gandum ke dalam kisaran itu. Dengan izin Allah, maka berpusinglah kisaran itu dengan sendirinya. Hati Fatimah sangat terhibur dan merasa sangat gembira dengan hadiah istimewa dari ayahandanya itu. Habis semua gandumnya dikisar dan batu kisar itu tidak akan berhenti selagi tidak ada arahan untuk berhenti, sehingga Rasulullah menghentikannya. 
Bersabdalah Rasulullah dengan kata-kata yang masyhur, “Wahai Fatimah, Gunung Uhud pernah ditawarkan kepadaku untuk menjadi emas, namun ayahanda memilih untuk keluarga kita kesenangan di akhirat.” Jelas, Rasulullah mau mendidik puterinya bahawa kesusahan bukanlah penghalang untuk menjadi solehah. Ayahanda yang penyayang terus merenung puterinya dengan pandangan kasih sayang, “Puteriku, maukah engkau kuajarkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kau pinta itu? “Tentu sekali ya Rasulullah, jawab Siti Fatimah kegirangan. Rasulullah bersabda, “Jibril telah mengajarku beberapa kalimah. Setiap kali selesai sembahyang, hendaklah membaca ‘Subhanallah’ sepuluh kali, Alhamdulillah’ sepuluh kali dan ‘Allahu Akbar’ sepuluh kali. Kemudian ketika hendak tidur baca ‘Subhanallah’, ‘Alhamdulillah’ dan ‘Allahu Akbar’ ini sebanyak tiga puluh tiga kali.”
Ternyata amalan itu telah memberi kesan kepada Fatimah. Semua pekerjaan rumah tangga dapat dilaksanakan dengan mudah dan sempurna meskipun tanpa pembantu rumah. Itulah hadiah istimewa dari Allah buat hamba-hamba yang hatinya sentiasa mengingatiNya.
Suatu hari masuklah Rasulullah menemui anandanya Fatimmah az-Zahra radhiallahu ‘anha didapati anandanya sedang menggiling syair (sejenis padi-padian) dengan menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu sambil menangis. Rasulullah bertanya kepada anandanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fathimah? Semoga Allah tidak menyebabkan matamu menangis”. Fathimah berkata, “Ayahanda, penggilingan dan urusan-urusan rumahtanggalah yang menyebabkan ananda menangis”.  Lalu duduklah Rasulullah di sisi anandanya. Fathimah melanjutkan perkataannya, “Ayahanda sudikah kiranya ayahanda meminta ‘ali (suaminya) mencarikan ananda seorang jariah untuk menolong ananda menggiling gandum dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah”.
Mendengar perkataan anandanya ini maka bangunlah Rasulullah mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil syair dengan tangannya yang diberkati lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu seraya diucapkannya “Bismillaahirrahmaanirrahiim”. 
Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Allah. Rasulullah meletakkan syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk anandanya dengan tangannya sedangkan penggilingan itu berputar dengan sendirinya seraya bertasbih kepada Allah dalam berbagai bahasa sehingga habislah butir-butir syair itu digilingnya.
Rasulullah berkata kepada gilingan tersebut, “Berhentilah berputar dengan izin Allah”, maka penggilingan itu berhenti berputar. Lalu penggilingan itu berkata-kata dengan izin Allah yang berkuasa menjadikan segala sesuatu dapat bertutur kata. 
Maka katanya dalam bahasa Arab yang fasih, “Ya Rasulullah, demi Allah, Tuhan yang telah menjadikan baginda dengan kebenaran sebagai Nabi dan Rasul-Nya. Kalaulah baginda menyuruh hamba menggiling syair dari Masyriq dan Maghrib pun niscaya hamba gilingkan semuanya. Sesungguhnya hamba telah mendengar dalam kitab Allah suatu ayat yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang dititahkan”.
Maka hamba takut, ya Rasulullah kelak hamba menjadi batu yang masuk ke dalam neraka. Rasulullah kemudian bersabda kepada batu penggilingan itu, “Bergembiralah karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai Fathimah az-Zahra di dalam syurga”. Maka bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita itu kemudian diamlah ia.

Rasulullah bersabda kepada anandanya, “Jika Allah menghendaki wahai Fathimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat
Ya Fathimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat.
Ya Fathimah perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit.
Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakaian mereka maka Allah akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang yang bertelanjang.
Ya Fathimah, perempuan mana yang menghalangi hajat tetangga-tetangganya maka Allah akan menghalanginya dari meminum air telaga Kautshar pada hari kiamat.
Ya Fathimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keridhaan suami terhadap istrinya. Jikalau suamimu tidak ridha denganmu tidaklah akan aku do’akan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah bahwa ridha suami itu daripada Allah dan kemarahannya itu dari kemarahan Allah?
Ya Fathimah, apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Allah akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak melahirkan maka Allah mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Allah yakni berperang sabil. 
Apabila ia melahirkan anak maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ibunya melahirkannya dan apabila ia meninggal tiadalah ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman surga, dan Allah akan mengkaruniakannya pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat.
Perempuan mana yang melayani suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta niat yang benar maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Allah akan memakaikannya sepersalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari setiap helai bulu dan rambut yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan dikaruniakan Allah untuknya seribu pahala haji dan umrah.
Ya Fathimah, perempuan mana yang tersenyum dihadapan suaminya maka Allah akan memandangnya dengan pandangan rahmat.
Ya Fathimah perempuan mana yang menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau menata rumah untuk suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari langit (malaikat), “Teruskanlah amalmu maka Allah telah mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari dosamu dan sesuatu yang akan datang”.
Ya Fathimah, perempuan mana yang meminyakkan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan kumisnya serta menggunting kukunya maka Allah akan memberinya minuman dari sungai-sungai sorga dan Allah akan meringankan sakarotulmaut-nya, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga seta Allah  akan menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia melintas di atas titian Shirat”.  (Syarah ‘Uquudil lijjaiin-Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani).

Sekarang apa rahasia Ali bin Abi Thalib mencintai Fathimah? Fathimah adalah teman karib semenjak kecil, puteri tersayang Rosulullah, sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rosulullah yang mempesona, baik kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya maupun kecerdasannya. 
Ali bin Abi Thalib sejak Fatimah masih kanak-kanak sudah memperhatikan sifat dan tingkah lakunya, yaitu pada suatu hari ketika ayahnya (Rosulullah) pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan dengan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah (sang ayah yang Tepercaya) tidak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik (Fatimah) itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah, di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Ali bin Abi Thalib tak tahu apakah rasa itu (selalu memperhatikan sifat dan tingkah laku Fatimah) disebut cinta?
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan bahwa Fathimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali bin Abi Thalib. Ia merasa diuji karena merasa, apalah ia dibanding dengan Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. 
Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara Ali bin Abi Thalib bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya. Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib) semasa kanak-kanak kurang pergaulan. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Siapa budak yang dibebaskan Ali bin Abi Thalib? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah. Ali bin Abi Thalib hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali bin Abi Thalib. ”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti, tapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya. Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakar ditolak, dan Ali bin Abi Thalib terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri menyambut Fathimah. Tapi, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut, yaitu Umar bin Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. Umar bin Khaththab memang masuk Islam belakangan, sekitar tiga tahun setelah Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar bin Khaththab dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, Ali bin Abi Thalib mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar bin Khaththab..” 
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasulullah, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar bin Khaththab melakukannya?. Ali bin Abi Thalib menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Rosulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
Umar bin Khaththab  telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” Umar bin Khaththab adalah lelaki pemberani, sedangkan aku (Ali bin Abi Thalib), sekali lagi sadar. 
Bila dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah, apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.  Umar bin Khaththab jauh lebih layak, dan Ali bin Abi Thalib pun ridha.
Sekali lagi cinta tak pernah meminta untuk menanti, tetapi mengambil kesempatan atau mempersilakannya. Dan cinta itu membutuhkan keberanian atau pengorbanan. Maka Ali bin Abi Thalib pun bingung ketika mendengar kabar lamaran Umar bin Khaththab juga ditolak.
Ingin menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Rosulullah? Yang seperti ’Utsman bin Affan, sang miliyader yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri Ali bin Abi Thalib. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. 
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?” kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunannya. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Rosulullah.. ” ”Aku?” tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai saudaraku!”  ”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?””Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!” Ali bin Abi Thalib pun menghadap Rosulullah, maka dengan memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya menikahi Fathimah. Ya, menikahi, dengan sadar secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. 
Usianya telah berkepala dua sekarang.”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya terjawab,”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Rosulullah. Dan Ali bin Abi Thalib pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan. ”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?” ”Entahlah..” ”Apa maksudmu?” ”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban?” ”Dasar tolol! Tolol!” kata mereka. ”Eh, maaf kawan, Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ‘Ali bin Abi Thalib pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. Ali bin Abi Thalib adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali bin Abi Thalib. Ia mempersilakan, atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan, dan yang kedua adalah keberanian.
Ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi (Fathimah) dalam suatu riwayat dikisahkan, bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”. Ali bin Abi Thalib terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? Dan Siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu”. 

Kematian Fathimah

Hari ketiga Ramadan adalah hari wafatnya anak kesayangan baginda Nabi Muhammad SAW, Fatimah Az-Zahra. Fatimah yang juga istri Ali bin Abu Thalib, ini wafat pada 3 Ramadan tahun 11 Hijriah atau 23 November 632 Masehi. Dia dimakamkan pemakaman Baqi, Madinah.


 Ibrah dari kisah Fathimah Az-Zahra antara lain:

Kesederhanaan
·         Kehidupan keluarganya bersama Ali bin Abi Thalib penuh dengan kesederhanaan. Mahar Ali saat ingin melamar Fathimah pun hanya baju besi yang pernah diberikan oleh Rasulullah.
Keteguhan Hati
·         Ali saat mengetahui Fathimah banyak yang ingin menikahinya, tetapi semuanya ditolak, dan karena kesungguhan hati Ali, lamaran Ali untuk menikahi Fathimah pun diterima oleh Rasulullah.
Tidak ada percintaan sebelum pernikahan
·         Cinta dalam diam, Fathimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib tidak pernah mengutarakan cinta antar satu dengan yang lainnya. Memang tidak ada percintaan sebelum pernikahan.
Amalan
·         Fathimah melakukan pekerjaan rumah tangganya sendiri, tidak ada pembantu yang membantunya karena tidak diizinkan oleh Rasulullah. Namun Rasulullah mengajarkan amalan yang melebihi memiliki seorang pembantu yaitu, apabila kita mendatangi tempat tidur sebaiknya dalam keadaan mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan cara membaca Subhanallah sebanyak 33 kali, Alhamdullillah 33 kali dan Allahu Akbar 34 kali.
Tidak adanya poligami
·         Rasulullah tidak mengizinkan Ali untuk menikah lagi, karena Fathimah merupakan bagian jiwa dari Rasulullah
Kemurkaan Fathimah Az-Zahra merupakan kemurkaan Allah dan Rasulullah
·         Dalam hadis riwayat Bukhari dalam Shahih Bukhari kitab nikah bab Dzabb ar-Rajuli, Rasulullah bersabda, “Fatimah adalah sebahagian daripadaku; barangsiapa ragu terhadapnya, berarti ragu terhadapku, dan membohonginya adalah membohongiku.”
·         Dalam hadis riwayat Bukhari dalam Shahih Bukhari Kitab Bad’ul Khalq bab Manaqib Qarabah, Rasulullah bersabda, “Fathimah adalah bahagian dariku, barangsiapa yang membuatnya marah, membuatku marah!”
Pemimpin Wanita
·         Fathimah binti Muhammad termasuk dalam 4 wanita penghuni surga yang paling utama bersama Khadijah binti Khuwailid, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Mazahim (istri Fir’aun)
Sifat-sifat beliau
·         Keutamaan akhlak yang mulia, ilmu pengetahuan yang tinggi, kefasihan yang mengungguli kaum pria sekalipun, kesabaran, ketabahan, kesederhanaan, kezuhudan, dan ketegaran hati.
·         Ketaatannya terhadap Allah, Fatimah dengan kecintaannya terhadap Rasulullah, Fatimah dengan kesetiaannya terhadap Ali.
Keunikan
·         Sebagai putri dari Rasulullah, putri dari Khadijah al-Kubra (Pemuka wanita Islam pertama), istri dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib (yang merupakan sahabat terdekat Nabi saw. dan orang pertama kali masuk Islam). Fatimah adalah ibu dari Sayyidain al-Hasan wal-Husain dan merupakan salah satu anggota khusus keluarga Nabi saw, yang disebut sebagai Ahlul Bait Yang Suci.
 Uwais Al-Qarni
Di Yaman, tinggallah seorang pemuda bernama Uwais Al Qarni yang berpenyakit sopak. Karena penyakit itu tubuhnya menjadi belang-belang. Walaupun cacat tapi ia adalah pemuda yang saleh dan sangat berbakti kepada ibunya, seorang perempuan wanita tua yang lumpuh. Uwais senantiasa merawat dan memenuhi semua permintaan ibunya. Hanya satu permintaan yang sulit ia kabulkan. “Anakku, mungkin Ibu tak lama lagi akan bersamamu. Ikhtiarkan agar ibu dapat mengerjakan haji,” pinta sang ibu.

Mendengar ucapan sang ibu, Uwais termenung. Perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh, melewati padang tandus yang panas. Orang-orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak perbekalan. Lantas bagaimana hal itu dilakukan Uwais yang sangat miskin dan tidak memiliki kendaraan?
Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian, dibelilah seekor anak lembu, kira-kira untuk apa anak lembu itu? Tidak mungkin pergi haji naik lembu. Uwais membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi ia bolak-balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. “Uwais gila... Uwais gila..” kata orang-orang yang melihat tingkah laku Uwais. Ya, banyak orang yang menganggap aneh apa yang dilakukannya tersebut.

Tak pernah ada hari yang terlewatkan ia menggendong lembu naik-turun bukit. Makin hari anak lembu itu makin besar, dan makin besar pula tenaga yang diperlukan Uwais. Tetapi karena latihan tiap hari, anak lembu yang membesar itu tak terasa lagi. Setelah 8 bulan berlalu, sampailah pada musim haji. Lembu Uwais telah mencapai 100 kilogram, begitu juga otot Uwais yang makin kuat. Ia menjadi bertenaga untuk mengangkat barang. Tahukah sekarang orang-orang, apa maksud Uwais menggendong lembu setiap hari? Ternyata ia sedang latihan untuk menggendong ibunya.

Uwais menggendong Ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Makkah! Subhanallah, alangkah besar cinta Uwais pada ibunya itu. Ia rela menempuh perjalanan jauh dan sulit, demi memenuhi keinginan ibunya. Uwais berjalan tegap menggendong ibunya wukuf di Ka’bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di hadapan Ka’bah, ibu dan anak itu berdoa. “Ya Allah, ampuni semua dosa ibu,” kata Uwais. “Bagaimana dengan dosamu?” tanya sang Ibu keheranan. Uwais menjawab, “Dengan terampuninya dosa ibu, maka ibu akan masuk surga. Cukuplah ridha dari ibu yang akan membawaku ke surga.”

Itulah keinginan Uwais yang tulus dan penuh cinta. Allah subhanahu wata’ala pun memberikan karunia untuknya. Uwais seketika itu juga sembuh dari penyakit sopaknya. Hanya tertinggal bulatan putih ditengkuknya. Tahukah kalian apa hikmah dari bulatan disisakan di tengkuknya Uwais tersebut? Ituah tanda untuk Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat Rasulullah untuk mengenali Uwais. Beliau berdua sengaja mencari di sekitar Ka’bah karena Rasulullah berpesan, “Di zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kalian berdua, pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman.”

“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu durhaka pada ibu dan menolak kewajiban, dan meminta yang bukan haknya, dan membunuh anak hidup-hidup, dan Allah, membenci padamu banyak bicara, dan banyak bertanya, demikian pula memboroskan harta (menghamburkan kekayaan).” (HR Bukhari dan Muslim)

Uwais Al Qarni pergi ke Madinah
Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al Qarni sampai juga di kota Madinah. Segera ia mencari rumah Nabi Muhammad. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al Qarni menyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada di rumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah r.a., istri Nabi. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi, tetapi Nabi tidak dapat dijumpainya.

Dalam hati Uwais Al Qarni bergejolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terniang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu,agar ia cepat pulang ke Yaman, “Engkau harus lepas pulang.”

Akhirnya, karena ketaatanya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah r.a., untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi. Setelah itu, Uwais pun segera berangkat pulang mengayunkan lengkahnya dengan perasaan amat sedih dan terharu.

Peperangan telah usai dan Nabi pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi menanyakan kepada Siti Aisyah r.a., tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais anak yang taat kepada orang ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi, Siti Aisyah r.a. dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah r.a. memang benar ada yang mencari Nabi dan segera pulang ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al Qarni, penghuni langit itu, kepada sahabatnya, “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih di tengah telapak tangannya.”

Sesudah itu Nabi memandang kepada Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khaththab seraya berkata, “Suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”

Waktu terus berganti, dan Nabi kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khaththab. suatu ketika Khalifah Umar teringat akan sabda Nabi tentang Uwais Al Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan tentang Uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa Khalifah Umar dan sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib selalu menanyakan dia?

Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang baru datang dari Yaman, segera Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib segera pergi menjumpai Uwais Al Qarni.

Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang salat. Setelah mengakhiri salatnya dengan salam, Uwais menjawab salam Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib sambil mendekati kedua sahabat Nabi tersebut dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah dengan segera membalikan telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan Nabi. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al Qarni.

Wajah Uwais nampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi. Bahwa ia adalah penghuni langit. Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah”. Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais Al Qarni”.

Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib memohon agar Uwais membacakan doa dan Istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “Saya lah yang harus meminta do’a pada kalian”.

Mendengar perkataan Uwais, “Khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari Anda”. Seperti dikatakan Rasulullah sebelum wafatnya. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”

Fenomena ketika Uwais Al Qarni Wafat


Selang beberapa waktu, tersiar kabar kalau Uwais telah wafat akibat terserang penyakit, tahun 39 hijriyah, Uwais Al Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan di mandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang ingin berebutan ingin memandikannya. Dan ketika di bawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang sudah menunggu untuk mengafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa ke pekuburannya, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk menusungnya.    

Meninggalnya Uwais Al Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al Qarni adalah seorang yang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.

Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “Siapakah sebenarnya engkau Wahai Uwais Al Qarni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai pengembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatnya, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal.mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya.”

Berita meninggalnya Uwais Al Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar kemana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al Qarni. Selama ini tidak ada orang yang
mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al Qarni disebabkan permintaan Uwais Al Qarni sendiri kepada Khalifah Umar dan Ali bin Abi Thalib agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah di sabdakan oleh Nabi, bahwa Uwais Al Qarni adalah penghuni langit.

Begitulah Uwais Al Qarni, sosok yang sangat berbakti kepada orang tua, dan itu sesuai dengan sabda Rasulullah ketika beliau ditanya tentang peranan kedua orang tua. Beliau menjawab, “Mereka adalah (yang menyebabkan) surgamu atau nerakamu.” (HR Ibnu Majah).
 Ibrah dari kisah Uwais Al-Qarni
1.    Menunjukkan keutamaan birrul walidain, yaitu berbakti pada orang tua terutama ibu. Berbakti pada orang tua termasuk bentuk qurobat (ibadah) yang utama.
2.    Menunjukkan mu’jizat yang benar-benar nampak dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia adalah Uwais bin ‘Amir. Dia berasal dari Qabilah Murad, lalu dari Qarn. Qarn sendiri adalah bagian dari Murad.
3.    Uwais adalah orang yang menyembunyikan keadaan dirinya. Rahasia yang ia miliki cukup dirinya dan Allah yang mengetahuinya. Tidak ada sesuatu yang nampak pada orang-orang tentang dia. Itulah yang biasa ditunjukkan orang-orang bijak dan wali Allah yang mulia.
4.    Perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Umar untuk meminta do’a dari Uwais, supaya ia berdo’a pada Allah untuk memberikan ampunan padanya.
5.    Dianjurkan untuk meminta do’a dan do’a ampunan lewat perantaraan orang shalih.
6.    Boleh orang yang lebih mulia kedudukannya meminta doa pada orang yang kedudukannya lebih rendah darinya. Di sini, Umar adalah seorang sahabat tentu lebih mulia, diperintahkan untuk meminta do’a pada Uwais –seorang tabi’in- yang kedudukannya lebih rendah.
7.    Uwais adalah tabi’in yang paling utama berdasarkan nash
8.    Menjadi orang yang tidak terkenal atau tidak ternama itu lebih utama.
9.    Keadaan Uwais yang lebih senang tidak tenar menunjukkan akan keutamaan hidup terasing dari orang-orang.
10.  Penilaian manusia biasa dari kehidupan dunia yang nampak. Sehingga mudah merendahkan orang lain. Sedangkan penilaian Allah adalah dari keadaan iman dan takwa dalam hati.

                                                                   BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari kisah Fathimah Az-Zahra
Fathimah AzZahra merupakan putri Rasulullah yang dilahirkan di Makkah, pada hari Jumat, 20 Jumadil Akhir, mempunyai kepribadian yang baik antara lain, ilmu pengetahuan yang tinggi, kefasihan yang mengungguli kaum pria sekalipun, kesabaran, ketabahan, kesederhanaan, kezuhudan, dan ketegaran hati. Ketaatannya terhadap Allah, Fatimah dengan kecintaannya terhadap Rasulullah, Fatimah dengan kesetiaannya terhadap Ali. Saling mencintai dengan Ali dalam diam, tidak ada percintaan sebelum pernikahan. Memiliki anak kembar yaitu Hasan dan Husein merupakan salah satu anggota khusus keluarga Nabi saw, yang disebut sebagai Ahlul Bait Yang Suci. Dan ketika Fathimah meminta pembantu kepada Rasulullah, tetapi Rasulullah tidak mengabulkannya, Rasulullah bahkan memberi amalan yang lebih mulia daripada seorang pembantu, yaitu Namun Rasulullah mengajarkan amalan yang melebihi memiliki seorang pembantu yaitu, apabila kita mendatangi tempat tidur sebaiknya dalam keadaan mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan cara membaca Subhanallah sebanyak 33 kali, Alhamdullillah 33 kali dan Allahu Akbar 34 kali. Dan kematian Fathimah Az-Zahra pada tanggal 3 Ramadhan 11 H.

Dari Kisah Uwais Al-Qarni
       
        Uwais Al-Qarni merupakan pemuda yatim dari Yaman yang sangat berbakti kepada ibu nya. Suatu ketika sang ibu ingin pergi haji, Uwais Al-Qarni berlatih menggendong lembu dari bawah bukit menuju atas bukit dan kembali lagi itu ia pergunakan agar bisa menggendong ibunya yang ingin haji dari Yaman ke Mekkah. Ketika Uwais ingin bertemu Rasulullah tetapi gagal, Rasulullah sedang dalam medan pertempuran. Akhirnya Uwais dipertemukan dengan Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, dan meminta agar Uwais berdoa untuk mereka. Uwais adalah penghuni langit. Uwais meninggal pada tahun 39 H.


Tidak ada komentar:
Write komentar